03/09/11

KAPOLDA JABAR

Assalaamu 'alaikum wr. wb.
Semoga bermanfaat..
Wassalaamu 'alaikum wr. wb.
========================================
Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji,
Pikiran Rakyat, Edisi 10 Februari 2008
RABU (30/1) lalu, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H.,
M.Sc., mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulai tingkatpolres
hingga polda. Para perwira Satlantas itu datang ke Mapolda Jabar
sejak pagi karena diperintahkan demikian. Pertemuan itu baru dimulai pukul 16.
00 WIB.
Dalam rapat itu, kapolda hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit.
Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya "galak" dan"menyentak".
Saking "galaknya", anggota Satlantas harus ditanya dua kali tentang kesiapan
mereka menjalani perintah tersebut.
Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan
(tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya). "Tidak
perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya.
Dari gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi pengusaha.
Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah ingin dilayani,"
tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.  Pada akhir acara,
seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari pangkat AKP hingga Kombespol,
diminta menandatangani pakta kesepakatan bersama. Isi kesepakatan itu pada
intinya ialah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang tepat waktu, tepat
mutu, dan tepat biaya.
Susno memberi waktu tujuh hari bagi anggotanya untuk berbenah, menyiapkan, dan
membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan masih ada yang nakal,
saatnya main copot-copotan jabatan," kata suami dari Ny. Herawati itu.
Pernyataan Susno itu menyiratkan, selama ini ada praktik pungli dilingkungan
kepolisian. Hasil pungli, secara terorganisasi, mengalir ke pimpinan teratas.
Genderang perang melawan pungli yang ditabuh Susno tidak lepas dari perjalanan
hidupnya sejak lahir hingga menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan
Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama
dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menggiring para koruptor ke jeruji
besi.
Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri dengan
pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar menguak korupsi.
Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?
Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja sebagai
seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan. Terbayang 'kan
betapa sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan yang pas-pasan.
Oleh karena itu, saat lulus SMA saya memilih ke Akpol karena gratis.Nah, waktu
sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa diantaranya dari
kalangan orang kaya, seperti anak pejabat. Sepertinya, enak sekali mereka ya,
bisa beli ini-itu dari uang rakyat. Sejak itulah,terpatri di benak saya, ada
yang tidak benar di negara ini dengan kemakmuran yang dimiliki oleh para
pejabat. Maka, saya sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi saat
mengabdi di PPATK. Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena
bisa menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan uang
rakyat. Ada kepuasan batin.
Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang melawan
pungli saat masuk ke Polda Jabar?
Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau pungli,
terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah korupsi. Pungli
adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak zaman Majapahit
dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum yang korup. Bagaimana kita,
sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau kitanya sendiri korupsi.
Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam, baru
membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati, direktur, dan
lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi. Kalau aparatnya korupsi,
tamatlah republik ini.  Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke
atasan tertingginya, yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu
pejabat-pejabat di Polda. Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya.
Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di Polda Jabar
ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi yang bertugas di
jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang ketik, atau petugas
kecamatan yang melayani pembuatan akte kelahiran. Akan tetapi, dimulai dari
pimpinan tertinggi di kantor itu.
Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam, seperti
mendapat setoran dari bawahan, setoran dari pengusaha-pengusaha , mengambil
jatah bensin bawahan, atau mengambil anggaran anggota saya.
Oleh karena itu, saya tidak akan minta duit dari dirlantas, direskrim, atau
kapolwil. Tidak juga mengambil anggaran mereka, atau uang bensin mereka.
Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya,
tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja.
Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.
Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?
Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita menunjukkan
kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut nama kita jatuh kalau
bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak akan jatuh merek dengan
menangkap seorang kolonel polisi atau polisi berbintang yang korupsi. Kalau
perlu, tulis gede-gede itu di koran.  Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi,
akan saya pecat. Jika memang saya harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar
karena semuanya saya pecat gara-gara korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus
ditakutkan.
Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi. Polisi itu
bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa lebih tidak terhormat
kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak korupsi. Berbicara soal
penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus korupsi  bagaikan mengurai
benang kusut. Pasalnya, para penyidik tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan
mengungkap kasus korupsi dengan alasan perlu kajian yang mendalam atas
bukti-bukti sehingga memakan waktu lama?
Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah
ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran
perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang
yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya.
Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang
anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya
lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling
melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi,
kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas
korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus diakui, itu (memberantas
korupsi) memang susah karena korupsi itu nikmat. Apalagi, saat memegang sebuah
jabatan. Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda.
Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang. Pertanyaannya,
mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau saya, jelas tidak. Itu
hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa sih duit banyak-banyak hingga
tidak habis tujuh turunan. Gaji saya saja sekarang sudah besar. Mobil dikasih.
Bensin gratis. Ada uang tunjangan ini-itu. Sudah lebih dari cukup. Anak-anak
saya juga sudah kerja semua.
Bahkan, gajinya lebih besar dari saya.
Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap kasus
korupsi?
Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudahbersih di
dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan menjadi salah satu
target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus korupsi biar Jabar bergetar.
Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut kasus-kasus
korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK pasti mau membantu
asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya. Kita juga bisa diberi
kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap "bermain" bagaimana bisa dipercaya.
Kalau orang sudah percaya sama kita, maka banyak kasus yang masuk.
Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi digenjot.
Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib administrasi, salah
satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara berbasis IT yang terintegrasi
dari polsek hingga ke polda. Untuk apa?
Agar kita tahu setiap ada perkara yang masuk. Jadi, alangkah bodohnya seorang
kapolda jika tidak mengetahui jumlah perkara di jajarannya. Kalau jumlahnya
saja tidak tahu, bagaimana tahu isi perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara
tersebut, nantinya ada klasifikasi perkara. Perkara mana yang porsinya polda,
polwil, polres, dan polsek. Untuk polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal
lapor boleh di mana saja.
Kita juga harus mempertanggungjawab kan hal itu ke pelapor dengan mengirim
surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik ini, ini, dan ini.
Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan menjadi standar penilaian untuk
penyidik. Dan kapolda mengetahui semua ini karena sistemnya ada sehingga tidak
pabaliut. Saya paling tidak suka yang pabaliut-pabaliut. Mungkin, bagi sebagian
orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang tidak tertib administrasi itu
paling enak untuk diselewengkan. Benar tidak?
Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar kemungkinan
akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan anggaran yang minim.
Menurut Anda?
Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau anggaran
sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik.
Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain.
Siapa yang suruh? Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk
menyidik. Kita tidak perlu sok pahlawan.
Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu ada lagi
anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat serse setor ke
kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani kapolda. Jangan pernah
setori saya. Lingkaran setan itu saya putus agar tidak ada lagi sistem setoran.
Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga karena
mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau bukan dari
setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha judi, dan
penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya Rp 5-6 juta.
Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya.
Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.
Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di lingkungan
kepolisian?
Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas dilarang dan
ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan, Titik!!!!.
Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan
kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan
pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng , tetapi anak
buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan
standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan) ,
sementara rakyat macet. Itu juga korupsi. Polisi yang korup sama saja dengan
melacurkan diri. Jadi, kalau saya korup dengan menerima setoran-setoran tidak
jelas, apa bedanya saya dengan pelacur. ***



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar